Jakarta, 04 Mei 2012
Joni Faisal-penulis Songgo Rubuh |
Jika menoleh ke belakang, baik perjalanan Kukurockyou
maupun Songgo Rubuh, tidaklah semudah apa yang mungkin pembaca
bayangkan. Sungguh hal yang kami anggap luar biasa jika kedua serial itu saat
ini digadang-gadang menjadi animasi yang bakal merebut hati pemirsa Indonesia.
Betapa tidak, kesan para aktivis animasi yang selama ini menganggap daya beli
televisi kita terhadap animasi lokal sangat rendah, perlahan-lahan kami
singkirkan. Kemudian, anggapan bahwa daya beli televisi Indonesia terhadap
animasi kita terlalu murah juga
sekaligus kami patahkan. Buktinya, harga yang kami patok pada pihak televisi,
melebihi harga sinetron live action, meskipun perbedaannya tidak cukup
jauh. Tapi paling tidak, ini memberikan nafas lega bagi kami untuk berkarya
lebih produktif, karena daya beli televisi kita terhadap animasi lokal juga
tidak semurah yang kami perkirakan sebelumnya. Masalahnya barangkali banyak karya
animasi kawan-kawan yang ditawarkan ke pihak televisi masih belum memenuhi
standar mereka. Sehingga banyak yang menganggap pihak televisi terlalu arogan
bagi karya mereka. Dengan argumen bahwa biaya produksi animasi itu jauh lebih
mahal dari pada live action, ditambah dengan kualitas animasi yang
memenuhi standar tayang pihak televisi, alasan kita untuk minta harga yang
lebih tinggi tentu saja masuk akal.
Jika kami ditanya apakah sistem yang telah kami lakukan terhadap
proses produksi animasi itu sebuah proses normal sebagai sebuah industri? Tentu
saja kami ingin mengatakan semua itu adalah hasil trial and error. Kasarnya,
kami belajar dari nol untuk memahami kepentingan banyak pihak terhadap industri
ini. Hal sepele tentang durasi sketsa Songgo Rubuh yang tayang di MNC TV
saja misalnya, tadinya kami buat rata-rata tidak lebih dari dua menit. Namun
setelah beberapa kali pertemuan dengan pihak MNC TV, rupanya mereka minta
setiap sketsa rata-rata berdurasi empat menit. Dan itu bukan perkara mudah buat
kami untuk merubahnya karena konsep awalnya adalah berdurasi 1.30 menit. Tapi
kompromi-kompromi semacam ini tetap kami jalani sebatas hal itu tidak menganggu
prinsip dan konsep dasar dari apa yang selama ini kami yakini.
Belajar
Menyesuaikan Diri
Untuk diketahui, kami bertiga (Denny Asse, Murhananto dan saya
sendiri Joni Faisal) berlatar belakang sebagai penulis komedi. Jika
dispesialkan lagi, komedi yang kami urusi itu tidak lain adalah komedi situasi
atau sitkom dan sketsa. Sejak 2004 kami sudah kenyang dengan apa itu sitkom.
Kami telah menulis ratusan episode sitkom diantaranya Bajaj Bajuri, Suami-suami
Takut Istri, Tante Tuti, Cagur Naik Bajaj Kejar Kusnadi, sketsa
Tawa Sutra dan lain-lain. Artinya sebagai penulis komedi kami sudah
paham benar apa itu sitcom, sketsa dan drama komedi dengan segala “tetek
bengek”nya. Namun saat kami bertemu Ahmad Rofiq--yang telah malang melintang di
jagat animasi lebih dari delapan tahun—untuk mengajak kami menulis script
animasi, kami akui kami gelagapan. Penyebabnya, tak lain karena kami gagap
dengan dunia animasi. Boro-boro untuk menjadi penulis naskahnya, apa itu
prinsip-prinsip animasi saja kami tidak terlalu paham. Apalagi teknik dan cara
kerja kawan-kawan animator dalam industri ini, bisa dikatakan kami belum paham.
Dalam komedi live action kami
ditempa oleh pengalaman untuk memahami “manajemen” produksi. Di Bajaj Bajuri
misalnya, penonton tidak akan menemui scene yang berlokasi di mal yang
hanya diambil hanya satu scene. Mengapa? Selain karena ongkos syutingnya
mahal, ribet dan banyak masalah, pertanyaan berikutnya: buat apa syuting
di mal kalau hanya untuk mencari kelucuan yang hanya terjadi beberapa detik?
Mengapa tidak membuat adegan yang lain saja jika kualitas dan target kelucuan
yang sama bisa dihasilkan? Dengan jam terbang dan teori yang pernah kami
pelajari, adegan di mal ini bisa saja diganti dengan di ruang tamu di mana
Bajuri telah membawa paper bag yang menandakan kalau dia baru saja
datang dari mal. Bukankah itu lebih efektif dan murah? Banyak hal yang
bermasalah semacam ini bisa kami taklukan di komedi live action. Bahkan dari
pengalaman pula kami bisa membuat produksi itu menjadi sedikit low budget.
Tapi di animasi tidak begitu. Kami bukan saja meraba-raba, tapi kami
benar-benar buta.
Untuk menambah seorang figuran atau
ekstras dalam komedi live action misalnya, tidak dibutuhkan banyak
waktu. Cukup cari orang di jalan atau yang telah disiapkan oleh Unit, bisa
langsung take. Tapi di animasi, kami tidak tahu kalau menambah satu saja
karakter orang atau binatang itu membutuhkan waktu untuk membuat model. Belum
lagi, rigging, compositing dan lain-lain. Semua itu butuh waktu
dan kami tidak mungkin untuk tidak belajar dengan tim produksi/animator. Tanpa
kami mengerti, pasti akan banyak sekali kebingungan maupun waktu yang akan
terbuang dari kawan-kawan produksi.
Itu baru satu saja bagian yang kami tidak pahami dari animasi.
Belum lagi masuk ke content cerita. Pernah kami membuat adegan yang kami
anggap seru. Tapi ternyata di animasi itu menjadi biasa. Karena apa? Karena
adegan itu bisa dibuat dengan mudah di syuting live action. "ngapian
adegan buat gituan kalo, kalo masih bisa disyuting biasa,” protes
seorang teman yang telah berpengalaman.
Dalam live action jurus-jurus komedi seperti teaser,
roll of three, clip hunger, running gage, slapstick yang intinya
untuk mendapat ledakan tawa atau punchline di setiap scene atau segment sudah
mendarah daging dan secara reflex kerap kami lakukan pada saat penulisan
naskah. Di animasi sendiri, harus diakui kami belum punya pengalaman untuk
membuatnya. Namun sejak Achamd Rofiq dan kawan-kawan memberikan pelajaran
tentang prinsip-prinsip apa saja yang berlaku di animasi, kami jadi lumayan
paham kalau banyak hal-hal yang boleh dilakukan di animasi. Intinya, animasi
memberikan banyak ruang yang berlebih bagi penulis seperti kami, untuk berfikir
tentang fantasi, berbicara mengenai hewan-hewan, mahkluk-makhluk unik, dan
hal-hal yang bisa terbang dan sebagainya.
Dari tim Ahmad Rofiq
(tim animator/produksi), yang selama ini berproduksi tanpa penulis, merasa
bahwa dengan kehadiran penulis, paling tidak cerita akan menuju ke sasaran yang
diinginkan. Memiliki tingkat dramati, terstruktur, dan yang lebih penting
tujuan dari cerita tidak bertele-tele.Oleh : Joni faisal (penulis serial animasi Songgo Rubuh)
No comments:
Post a Comment