Jakarta, MediaProfesi.com -
Senin, 24 Januari 201
Ya,
berbeda karena berarti Bank Mandiri cukup punya perhatian terhadap
industri kreatif terutama bidang garapan Ahmad Rofiq, yaitu film
animasi. Dan ini adalah sebuah harapan besar akan bertumbuhnya semangat
para animator tanah air untuk berkarya tak hanya menjadi ’tukang jahit’
yang dipekerjakan oleh kreator-kreator asing.
Perihal
semangat para kreator atau animator dalam negeri, tentu banyak factor
yang menghambat tumbuh kembangnya industri ini dalam menuju menjadi tuan
rumah di negeri sendiri atau bahkan ekspor. Karena sejauh ini, meski
film animasi Dragon Ball dan lain-lainnya mendunia, toh kreator karakter
adalah bukan anak bangsa ini, mereka hanya menjadi ‘tukang jahit’ tadi.
Kenapa?
Kalau
mau introspects tentu harus berangkat dari pekerja animasi sendiri,
apakah mereka cukup kreatif menggarap bisnis karakter yang begitu
berlimpah dapat ditemukan di harta Karun kekayaan etnik dan budaya
bangsa ini. Kalau di bidang disain, Kekayaan karakter dan kultur bangsa
ini telah membuat seorang disainer kondang Stefan Sagmeister tak kering
ide, maka kreator karakter animasi pun mestinya demikian.
Industri
kreatif utamanya film animasi nasional, pun mengalami kendala ketika
bersaing dengan karakter-karakter animasi dari luar yang begitu gencar
menghantam pasar dalam negeri dengan harga jual untuk tayangan televisi
sangat murah. Dengan kondisi itu, televisi pun akhirnya lebih memilih
membeli produk asing yang murah tak peduli konten, daripada membeli film
animasi local yang harganya relatif lebih mahal.
Bukan
bermaksud menggurui, namun perihal industri kreatif animasi ini memang
masih butuh perhatian lebih serius. Bahwasanya bisnis di industri ini
belum populer, ya. Untuk itu diperlukan pembelajaran menyeluruh tentang
industri yang berbasis kreatif ini. ApalagI dengan pangsa pasar yang
sangat potensial di dalam negeri, sayang sekali jika yang menikmati
adalah asing. Lantas, apa saja yang sebenarnya mesti dipahami dalam
bisnis di industri animasi?
Industri
animasi setali tiga uang dengan industri film pada umumnya, hanya saja
kalau boleh saya katakan bahwa industri ini punya waktu tak terbatas
asal mampu melakukan kontinuitas dan tak miskin ide. Kontinuitas dapat
terjaga dengan penciptaan karakter khas yang bisa diterima segala zaman
dalam membawakan tema-tema ceritanya. Dari Donald Duck sampai Mickey
Mouse, kontinuitasnya terjaga dengan kekhasan karakter serta kekayaan
ide cerita. Dan itu juga berarti bahwa karakter dalam film animasi
adalah penyampai pesan yang efektif dengan tema-tema cerita semau story
tellernya.
Ketika
bicara karakter, maka disinilah sebenarnya bisnis yang sesungguhnya
akan mendatangkan keuntungan. Walt Disney mungkin tak sampai 5 persen
pendapatan dari menjual tayangan film animasinya ke seluruh dunia. Tapi
royalti dari bisnis franchise produksi karakter telah membuat raksasa
jagad animasi ini menguasai dunia.
Sebelum
Expo Wirausaha Mandiri, di Jakarta juga sempat digelar Franchise &
License Expo, yang dalam kesempatan itu ada perwakilan Marvel Comic yang
dengan 5.000 karakter telah menjadi raksasa “jagad marvel” dan dibeli
Walt Disney. Nah, dari 5.000 karakter tersebut, baik yang populer hanya
dalam komik maupun sudah divisualkan dalam film animasi, menegaskan
betapa bisnis karakter sangat potensial dan bahkan film animasinya hanya
menjadi pendamping atau alat propaganda (promosi) saja.
Dalam
bisnis karakter, kalau melihat yang telah dilakukan Marvel sejak 1961,
mengandaikan pasar dalam negeri telah mengalami keterlambatan selama 50
tahun. Ketika Marvel sudah memiliki jagad marvel dengan 5.000 tokoh
karakter kita masih dengan jumlah terbatas serta distribusi yang
terbatas pula.
Bisnis
karakter setidaknya telah menjadi tren dalam empat sektor yang cukup
strategis yang kadangkala tak disadari. Misalnya Apparel dan merchandise
yang kemudian memunculkan karakter-karakter sampai pada ruang pribadi
dengan melekat pada sprei, sarung bantal, guling dan sebagainya. Dan tak
ketinggalan dalam dunia permainan anak (toys) yang mana hampir semua
karakter melekati mainan anak bahkan hingga stationary. Kalau kita
lihat, dari kaos kaki, sepatu, alat tulis, celana, baju, topi, tas
sekolah.
Dengan
melihat kekuatan bisnisnya yang luar biasa, seorang investor, atau
perusahaan finansial tentu akan melihatnya sebagai peluang, termasuk
bagi televisi untuk tidak hanya berharap mendapat iklan dari setiap slot
tayangan film animasi, namun lebih luas lagi melihat sebagai peluang
bisnis merchandising, apparel, toys dan stationary.
Begitu
juga dengan Bank, sebagai lembaga keuangan tentunya diharapkan dapat
lebih memberikan prioritas atau setidaknya kesempatan sama bagi kalangan
industri kreatif utamanya animasi dalam pengucuran modal usaha. Maka
ketika melihat Bank Mandiri yang dengan pogram CSRnya menyelenggarakan
kompetisi kewirausahaan dan memilih Ahmad Rofiq sebagai salah satu
finalis yang kemudian memenangi juara I kategori kreatif dengan produk
film animasi, saya melihat Bank Mandiri sebagai Bank yang melek industri
kreatif animasi. Meskipun, baru sebatas “nemu” potensi tersebut di
tengah jalan ketika pelakunya sudah kelewat jauh melangkah, bukan
membina sejak awal.
Dan
perlu diketahui, industri animasi Indonesia tak hanya butuh tepuk
tangan ketika sudah mencapai keberhasilan namun tanpa dukungan sedari
awal melangkah, dalam arti butuh bapak angkat. Sampai-sampai, malam usai
penerimaan penghargaan wirausaha mandiri, saya menyempatkan bertemu
Ahmad Rofiq dari studio Kdeep, bersama Peni Cameron (Cams Solution) yang
begitu getol memperjuangkan agar animasi dalam negeri tetap eksis meski
bergerak dari tingkat lokal.
Sebagai
’alumni’ Cams Solution, Ahmad Rofiq dengan Kdeep-nya adalah studio
partner bagi cams dalam memproduksi film animasi. Beberapa karya telah
menghiasi layar kaca di tv-tv lokal maupun nasiona. Rofiq pada tahun
2008 berhasil menyabet piala FFI dan setahun sebelumnya, karyanya
berjudul a kite membuatnya mendapat penghargaan bergengsi di Jepang. Dan
ia, berpartner dengan Cams maupun pihak lain tak hanya berkarya membuat
film animasi, melainkan juga mengembangkan bisnis merchandise-nya.
Untuk menguasai pasar nasional, Rofiq berharap tv nasional lebih terbuka
terhadap karya lokal. Dengan hal itu, tentu kita sangat sepakat agar
tak hanya Upin & Ipin diberi kesempatan mengeruk pundi-pundi di
pasar dalam negeri.
Sekilas Pemenang Wirausaha Mandiri 2011
Sebanyak
13 pemenang penghargaan Wirausaha Mandiri 2011 merupakan finalis yang
telah menyisihkan 3.294 mahasiswa dari 412 perguruan tinggi di 33
provinsi di Indonesia. Penghargaan Wirausaha Mandiri 2010 diserahkan
oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta Convention Center pada
Kamis (22/1). Kategori diploma dan mahasiswa, penghargaan Wirausaha
Mandiri 2010 diberikan kepada Muhammad Asmui (UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta) dan Ridwan Abadi (Universitas Brawijaya, Malang) di kategori
Boga.
Fauzan
Hangriawan (Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta) dan Andi Arham
Benyamin (Universitas Hasanuddin, Makassar) di kategori industri dan
jasa,serta Dewi Tanjung Sari (IKIP Budiutomo, Surabaya) dan Alvin
(Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) di kategori kreatif. Pada
kategori mahasiswa, Evi Marlina (Universitas Jambi, Jambi) terpilih
sebagai penerima penghargaan Wirausaha Terinovatif.
Di
Kelompok pascasarjana dan alumni, penghargaan Wirausaha Mandiri
diberikan kepada Rosnendya Wisnu Wardhana (Universitas Batam, Batam) dan
Fajar Handika (Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta) di kategori
boga.Ahmad Abdul Hadi (Unsgawati, Cirebon) dan MGS Syaiful Fadli
(Universitas Sriwijaya, Palembang) di kategori industri dan jasa, serta
Achmad Rofiq (ITS, Surabaya) dan Surya Adhitama (ITB ) di kategori
kreatif. Surya sekaligus menerima Penghargaan Wirausaha Terinovatif pada
kelompok ini. * (Mah/Syam)
Oleh : Mahar Prastowo, Writerpreneur
No comments:
Post a Comment