Menemukan Tujuan Animasi
Animasi atau seni menciptakan efek
gambar bergerak, bagi Indonesia seolah buku resep masakan yang terbuka.
Isinya sudah dibaca, namun tak kunjung bisa membuatnya. Achmad Rofiq
yang kala itu, 1999-2007, adalah mahasiswa Jurusan Seni dan Desain
Program Studi Desain Komunikasi Visual (Diskomvis) Universitas Negeri
Malang gelisah pada masa depan animasi nasional.
Ia khawatir selulus nanti bakal terdampar sebagai ilustrator atau desainer grafis. “Saya memang sarjana seni dan mendalami animasi, tetapi juga penggemar dunia pemasaran. Jika pembuat animasi lain senang belajar teknik dan efek animasi, saya asyik membaca buku-buku manajemen dan pemasaran.”
Bagi Rofiq, manajemen dan pemasaran penting, agar animasi di Indonesia tumbuh sebagai industri seperti di negeri lain semisal Jepang dan Amerika Serikat. Ia mencontohkan bagaimana kartun televisi Kapten Tsubasa mampu menggerakkan kegairahan sepak bola di Jepang. Meski Kapten Tsubasa “hanyalah” karakter animasi.
”Bagaimana produk itu bisa menyatu dengan masyarakat, bahkan menggerakkan 'semangat' masyarakat,” ucapnya.
Pikiran itulah yang membuat dia berhasil memimpin perusahaan animasi beromzet sekitar Rp 1 miliar. Tahun 2012 lewat PT Dgmaxinema (singkatan Digital Global Maxinema), ia menargetkan omzet Rp 2 miliar. Dia antara lain mengerjakan animasi untuk iklan komersial, profil perusahaan, dan iklan layanan masyarakat dari pemerintah.
Studio animasi Rofiq juga mengerjakan animasi videoklip band Padi. Ia pun mendapat order iklan dari Jepang lewat komunikasi Facebook. Namun yang paling membanggakan adalah produk yang disebutnya IP (intellectual property), berupa karakter animasi ”Songgo–Rubuh” yang diciptakan dan berhasil dipasarkan. Di dunia animasi, bisa memiliki IP adalah cita-cita animator dan perusahaan animasi.
Kartun Songgo–Rubuh berkisah tentang persahabatan dua prajurit Keraton Yogyakarta dengan pakaian khas lombok abang (cabe merah). Kartun itu sejak Mei 2012 ditayangkan jaringan televisi MNC.
”Songgo–Rubuh memecahkan kebuntuan kepercayaan pengelola stasiun televisi sebagai salah satu pasar animasi, terhadap kualitas studio dalam negeri. Kami mendapatkan budget (biaya) produksi setara sinetron. Songgo–Rubuh juga dikelola dengan campur tangan ahli, untuk skenarionya melibatkan penulis sinetron,” katanya.
Berbagai proyek animasinya membuat Rofiq meraih penghargaan Juara I Wirausaha Muda Mandiri Jawa Timur kategori Industri Kreatif 2010. Ia juga menjadi Juara I Wirausaha Muda Mandiri Nasional untuk kategori dan tahun yang sama, selain penghargaan sebagai Wirausaha Muda Sukses dari Kementerian Koperasi dan UKM 2011.
Sebagai animator, ia meraih Juara I dalam kompetisi Asiagraph Jepang tahun 2008. Pada Festival Film Indonesia (FFI) 2008 ia menjadi sutradara animasi terbaik.
Kegiatan ekonomi
Sejak muda Rofiq percaya, animasi bisa berkembang sebagai kegiatan ekonomi. Animasi tak sekadar hobi utak-atik software komputer. Namun sebagai mahasiswa Diskomvis ia gelisah karena bisnis animasi di Indonesia belum tumbuh.
”Padahal semua film, seperti di Hollywood, sudah menggunakan jasa animasi untuk memperkuat efek spesial. Animasi menggantikan efek ledakan atau aksi berbahaya yang dulu dikerjakan aktor pengganti. Ini mengubah wajah industri animasi menjadi strategis,” katanya.
Obsesi Rofiq terhadap pasar dan industri animasi dipacu pengamatannya terhadap sang bunda, penyedia jasa menjahit di tempat asalnya, Kota Pasuruan, Jawa Timur.
”Kemampuan produksi ibu saya amat terbatas. Beliau bekerja hanya dengan dua tangan, ditambah bantuan satu-dua orang penjahit sehingga kapasitas produksinya minim,” katanya.
”Saya ingin kerja menggambar yang bisa dilakukan banyak orang dan dikonsumsi banyak orang juga. Ini akan membuat kapasitas produksi kami tinggi, animasi-lah jawabannya. Saat para animator berkumpul menyatukan ide, terbentuk model bisnis yang kokoh,” lanjut Rofiq.
Dia percaya Indonesia adalah gudang seniman animasi. Alasannya, ” Lama saya mengamati Candi Kidal di Malang. Di sini saya sadar, gerakan karakter dalam relief candi itu hidup, tidak mati. Bangsa Indonesia punya akar animasi.”
Banyak mengikuti proyek dan lomba animasi, Rofiq dan sejumlah teman mendirikan studio Kdeep Animation pada 2008. ”Teman-teman pendiri satu per satu keluar karena mendapat proyek animasi lain, seperti di Batam. Saya memutuskan membuat IP produk sendiri dan mendirikan PT Dgmaxinema.”
Kendala
Kendala awal yang dihadapi Rofiq adalah mendapatkan penonton. ”Semua karya seni itu berujung pada pertanyaan dasar, siapa yang mau menonton?” ucapnya. Jawabannya dia peroleh dari konsep pemasaran. ”Saya lalu menyusun kemampuan menciptakan IP dengan konsep pemasaran.”
Pelan-pelan ia berhasil mendapatkan sumber daya yang di butuhkan, yakni tenaga animator dan penonton. Ia mendirikan proyek kampung animasi. Setelah sejumlah pameran dan kepanitiaan di dunia animasi, Kemendikbud memberinya dana untuk mengelola kampung animasi.
”Kini kampung animasi kurang aktif, karena dananya terhenti. Di sisi lain terbentuk komunitas animator dan penonton potensial yang sering datang. Mereka, remaja dan guru yang menikmati membuat animasi. Saya tak membuka lowongan kerja animator, tetapi mendatangi dan melamar animator yang punya hasrat besar,” tutur dia.
Untuk mempertahankan loyalitas animator, Rofiq menawarkan hubungan kerja yang menyenangkan dengan membiarkan animator memiliki IP sendiri. ”IP milik animator yang digunakan dan dijual perusahaan. Ini membuat mereka bekerja serius menemukan karakter IP dan tetap bisa memiliki selamanya.”
Oleh : Dody Wisnu Pribadi
Source : http://ads2.kompas.com/layer/bankmandiri/sosok/read/25/berita.html