Saturday, November 17, 2012

Menemukan Tujuan Animasi 
 
      Animasi atau seni  menciptakan efek gambar bergerak, bagi Indonesia seolah  buku resep masakan yang terbuka. Isinya sudah dibaca, namun tak kunjung bisa membuatnya. Achmad Rofiq  yang kala itu, 1999-2007, adalah  mahasiswa Jurusan Seni dan Desain Program Studi Desain Komunikasi Visual (Diskomvis)  Universitas Negeri Malang gelisah pada masa depan animasi nasional.




Ia khawatir selulus nanti bakal  terdampar  sebagai ilustrator atau desainer grafis. “Saya memang sarjana seni dan mendalami  animasi, tetapi juga penggemar dunia pemasaran. Jika pembuat animasi lain senang belajar  teknik dan efek animasi, saya  asyik membaca buku-buku manajemen dan pemasaran.”
Bagi Rofiq, manajemen dan pemasaran penting, agar   animasi di Indonesia tumbuh sebagai industri seperti di negeri lain semisal Jepang dan Amerika Serikat. Ia mencontohkan bagaimana kartun televisi Kapten Tsubasa mampu menggerakkan kegairahan sepak bola di Jepang. Meski  Kapten Tsubasa “hanyalah” karakter animasi.
”Bagaimana produk itu bisa menyatu dengan masyarakat,  bahkan menggerakkan 'semangat' masyarakat,” ucapnya.
Pikiran itulah yang membuat dia berhasil memimpin perusahaan animasi beromzet sekitar Rp 1 miliar. Tahun 2012  lewat PT  Dgmaxinema (singkatan  Digital Global Maxinema), ia menargetkan omzet Rp 2 miliar. Dia antara lain mengerjakan  animasi untuk iklan komersial, profil perusahaan, dan iklan layanan masyarakat dari pemerintah.
Studio animasi Rofiq juga mengerjakan animasi videoklip band Padi. Ia pun mendapat order iklan dari Jepang lewat  komunikasi Facebook. Namun yang  paling membanggakan   adalah produk yang disebutnya IP (intellectual property), berupa karakter animasi ”Songgo–Rubuh” yang diciptakan dan berhasil dipasarkan. Di dunia animasi, bisa memiliki IP  adalah cita-cita  animator dan perusahaan animasi.
Kartun Songgo–Rubuh berkisah tentang persahabatan  dua  prajurit Keraton Yogyakarta dengan pakaian khas lombok abang (cabe merah). Kartun itu sejak  Mei 2012 ditayangkan  jaringan televisi MNC.
”Songgo–Rubuh memecahkan kebuntuan kepercayaan pengelola stasiun televisi sebagai salah satu pasar animasi, terhadap kualitas  studio dalam negeri. Kami  mendapatkan budget (biaya) produksi setara  sinetron.  Songgo–Rubuh juga dikelola dengan campur tangan ahli, untuk  skenarionya  melibatkan penulis sinetron,” katanya.
Berbagai proyek animasinya membuat Rofiq meraih penghargaan  Juara I Wirausaha Muda Mandiri Jawa Timur kategori Industri Kreatif 2010. Ia juga menjadi  Juara I Wirausaha Muda Mandiri Nasional untuk kategori dan tahun yang sama, selain penghargaan sebagai Wirausaha Muda Sukses dari Kementerian Koperasi dan UKM   2011.
Sebagai animator, ia meraih Juara I dalam kompetisi Asiagraph Jepang tahun 2008. Pada Festival Film Indonesia (FFI) 2008 ia menjadi sutradara animasi terbaik.

Kegiatan ekonomi
Sejak muda Rofiq percaya, animasi bisa berkembang sebagai kegiatan ekonomi. Animasi tak sekadar  hobi utak-atik software komputer. Namun sebagai  mahasiswa Diskomvis ia gelisah karena  bisnis animasi di Indonesia belum  tumbuh.
”Padahal semua film, seperti di  Hollywood, sudah menggunakan jasa animasi untuk memperkuat efek spesial. Animasi menggantikan efek ledakan atau aksi berbahaya yang dulu dikerjakan  aktor pengganti. Ini mengubah wajah industri animasi menjadi  strategis,” katanya.

Obsesi Rofiq terhadap pasar dan industri animasi dipacu  pengamatannya terhadap sang bunda, penyedia jasa menjahit di tempat asalnya,  Kota Pasuruan, Jawa Timur.
”Kemampuan produksi ibu saya amat terbatas.  Beliau bekerja hanya dengan dua tangan, ditambah bantuan satu-dua orang penjahit sehingga kapasitas produksinya minim,” katanya.

”Saya ingin kerja menggambar yang bisa dilakukan  banyak orang dan dikonsumsi  banyak orang juga. Ini akan membuat  kapasitas produksi kami tinggi, animasi-lah jawabannya. Saat para  animator berkumpul menyatukan ide, terbentuk  model bisnis yang kokoh,” lanjut Rofiq.
Dia percaya Indonesia adalah gudang seniman animasi. Alasannya, ” Lama saya  mengamati Candi Kidal di  Malang. Di sini saya sadar, gerakan karakter dalam relief candi itu hidup, tidak mati. Bangsa Indonesia punya akar animasi.”
Banyak mengikuti proyek dan lomba animasi, Rofiq dan sejumlah teman mendirikan studio  Kdeep Animation pada 2008.  ”Teman-teman pendiri   satu per satu keluar karena mendapat  proyek animasi lain, seperti  di Batam. Saya memutuskan membuat IP produk  sendiri dan mendirikan PT Dgmaxinema.”

Kendala
Kendala awal yang dihadapi Rofiq adalah mendapatkan penonton. ”Semua karya seni itu  berujung pada pertanyaan dasar, siapa yang mau menonton?” ucapnya. Jawabannya dia peroleh dari konsep  pemasaran. ”Saya lalu menyusun kemampuan menciptakan IP dengan konsep pemasaran.”
 Pelan-pelan ia berhasil mendapatkan sumber daya yang di butuhkan, yakni tenaga animator dan penonton. Ia mendirikan proyek kampung animasi. Setelah sejumlah  pameran dan kepanitiaan di dunia animasi, Kemendikbud memberinya dana untuk mengelola kampung animasi.
”Kini kampung animasi kurang aktif, karena dananya terhenti. Di sisi lain terbentuk komunitas animator dan penonton potensial yang sering datang. Mereka, remaja dan guru yang menikmati membuat animasi.  Saya tak membuka lowongan kerja animator, tetapi mendatangi dan melamar animator yang  punya hasrat  besar,” tutur dia.
Untuk mempertahankan loyalitas animator, Rofiq menawarkan hubungan kerja yang menyenangkan dengan membiarkan animator memiliki IP sendiri. ”IP milik animator yang  digunakan dan dijual perusahaan. Ini membuat mereka  bekerja serius  menemukan karakter IP dan tetap bisa memiliki selamanya.”

Oleh : Dody Wisnu Pribadi

Source :  http://ads2.kompas.com/layer/bankmandiri/sosok/read/25/berita.html

1 comment:

  1. mas bisa buat game utuk OS gak... kalu bisa tempat mas sekarang dimalang mana?

    no. ku 083 851 907 344. blz

    ReplyDelete