Monday, May 7, 2012

BERTEMUNYA ANIMATOR DAN PENULIS SITKOM


Jakarta, 04 Mei 2012 

Joni Faisal-penulis Songgo Rubuh
     Sekitar pertengahan bulan November tahun 2011 kami diminta oleh pihak MNC TV untuk membuat serial animasi yang berlatar belakang budaya Indonesia. Istilah mereka, animasi yang memiliki warna lokal. Kebetulan waktu itu kami sudah punya ide meskipun masih bersifat obrolan tentang sersadu penjaga istana yang belakangan kami beri judul Songgo Rubuh. Sebenarnya ini bukan yang pertama kami mengajukan ide program animasi ke MNC TV. Beberapa bulan sebelumnya kami membawa serial Kukurockyou, animasi bertema keluarga unggas yang jago bernyanyi. Namun karena salah informasi dan kami berpendapat tidak mendapat tanggapan dari MNC TV, serial itu akhirnya kami tawarkan ke RCTI. Gayung pun bersambut, RCTI kemudian menyerahkan Kukurockyou kepada pihak MNC Animasi, semacam rumah produksi baru yang mengurusi animasi di jaringan MNC Grup. Namun, Songgo Rubuh yang yang kami tawarkan belakangan ternyata lebih mujur. Songgo Rubuh menyalip Kukurockyou mendapat kesempatan tayang di MNC TV.     
Jika menoleh ke belakang, baik perjalanan Kukurockyou maupun Songgo Rubuh, tidaklah semudah apa yang mungkin pembaca bayangkan. Sungguh hal yang kami anggap luar biasa jika kedua serial itu saat ini digadang-gadang menjadi animasi yang bakal merebut hati pemirsa Indonesia. Betapa tidak, kesan para aktivis animasi yang selama ini menganggap daya beli televisi kita terhadap animasi lokal sangat rendah, perlahan-lahan kami singkirkan. Kemudian, anggapan bahwa daya beli televisi Indonesia terhadap animasi kita  terlalu murah juga sekaligus kami patahkan. Buktinya, harga yang kami patok pada pihak televisi, melebihi harga sinetron live action, meskipun perbedaannya tidak cukup jauh. Tapi paling tidak, ini memberikan nafas lega bagi kami untuk berkarya lebih produktif, karena daya beli televisi kita terhadap animasi lokal juga tidak semurah yang kami perkirakan sebelumnya. Masalahnya barangkali banyak karya animasi kawan-kawan yang ditawarkan ke pihak televisi masih belum memenuhi standar mereka. Sehingga banyak yang menganggap pihak televisi terlalu arogan bagi karya mereka. Dengan argumen bahwa biaya produksi animasi itu jauh lebih mahal dari pada live action, ditambah dengan kualitas animasi yang memenuhi standar tayang pihak televisi, alasan kita untuk minta harga yang lebih tinggi tentu saja masuk akal.    
Jika kami ditanya apakah sistem yang telah kami lakukan terhadap proses produksi animasi itu sebuah proses normal sebagai sebuah industri? Tentu saja kami ingin mengatakan semua itu adalah hasil trial and error. Kasarnya, kami belajar dari nol untuk memahami kepentingan banyak pihak terhadap industri ini. Hal sepele tentang durasi sketsa Songgo Rubuh yang tayang di MNC TV saja misalnya, tadinya kami buat rata-rata tidak lebih dari dua menit. Namun setelah beberapa kali pertemuan dengan pihak MNC TV, rupanya mereka minta setiap sketsa rata-rata berdurasi empat menit. Dan itu bukan perkara mudah buat kami untuk merubahnya karena konsep awalnya adalah berdurasi 1.30 menit. Tapi kompromi-kompromi semacam ini tetap kami jalani sebatas hal itu tidak menganggu prinsip dan konsep dasar dari apa yang selama ini kami yakini.   
  
Belajar Menyesuaikan Diri
Untuk diketahui, kami bertiga (Denny Asse, Murhananto dan saya sendiri Joni Faisal) berlatar belakang sebagai penulis komedi. Jika dispesialkan lagi, komedi yang kami urusi itu tidak lain adalah komedi situasi atau sitkom dan sketsa. Sejak 2004 kami sudah kenyang dengan apa itu sitkom. Kami telah menulis ratusan episode sitkom diantaranya Bajaj Bajuri, Suami-suami Takut Istri, Tante Tuti, Cagur Naik Bajaj Kejar Kusnadi, sketsa Tawa Sutra dan lain-lain. Artinya sebagai penulis komedi kami sudah paham benar apa itu sitcom, sketsa dan drama komedi dengan segala “tetek bengek”nya. Namun saat kami bertemu Ahmad Rofiq--yang telah malang melintang di jagat animasi lebih dari delapan tahun—untuk mengajak kami menulis script animasi, kami akui kami gelagapan. Penyebabnya, tak lain karena kami gagap dengan dunia animasi. Boro-boro untuk menjadi penulis naskahnya, apa itu prinsip-prinsip animasi saja kami tidak terlalu paham. Apalagi teknik dan cara kerja kawan-kawan animator dalam industri ini, bisa dikatakan kami belum paham. 
            Dalam komedi live action kami ditempa oleh pengalaman untuk memahami “manajemen” produksi. Di Bajaj Bajuri misalnya, penonton tidak akan menemui scene yang berlokasi di mal yang hanya diambil hanya satu scene. Mengapa? Selain karena ongkos syutingnya mahal, ribet dan banyak masalah, pertanyaan berikutnya: buat apa syuting di mal kalau hanya untuk mencari kelucuan yang hanya terjadi beberapa detik? Mengapa tidak membuat adegan yang lain saja jika kualitas dan target kelucuan yang sama bisa dihasilkan? Dengan jam terbang dan teori yang pernah kami pelajari, adegan di mal ini bisa saja diganti dengan di ruang tamu di mana Bajuri telah membawa paper bag yang menandakan kalau dia baru saja datang dari mal. Bukankah itu lebih efektif dan murah? Banyak hal yang bermasalah semacam ini bisa kami taklukan di komedi live action. Bahkan dari pengalaman pula kami bisa membuat produksi itu menjadi sedikit low budget. Tapi di animasi tidak begitu. Kami bukan saja meraba-raba, tapi kami benar-benar buta.     
            Untuk menambah seorang figuran atau ekstras dalam komedi live action misalnya, tidak dibutuhkan banyak waktu. Cukup cari orang di jalan atau yang telah disiapkan oleh Unit, bisa langsung take. Tapi di animasi, kami tidak tahu kalau menambah satu saja karakter orang atau binatang itu membutuhkan waktu untuk membuat model. Belum lagi, rigging, compositing dan lain-lain. Semua itu butuh waktu dan kami tidak mungkin untuk tidak belajar dengan tim produksi/animator. Tanpa kami mengerti, pasti akan banyak sekali kebingungan maupun waktu yang akan terbuang dari kawan-kawan produksi.            
Itu baru satu saja bagian yang kami tidak pahami dari animasi. Belum lagi masuk ke content cerita. Pernah kami membuat adegan yang kami anggap seru. Tapi ternyata di animasi itu menjadi biasa. Karena apa? Karena adegan itu bisa dibuat dengan mudah di syuting live action. "ngapian adegan buat gituan kalo, kalo masih bisa disyuting biasa,” protes seorang teman yang telah berpengalaman. 

Dalam live action jurus-jurus komedi seperti teaser, roll of three, clip hunger, running gage, slapstick yang intinya untuk mendapat ledakan tawa atau punchline di  setiap scene atau segment sudah mendarah daging dan secara reflex kerap kami lakukan pada saat penulisan naskah. Di animasi sendiri, harus diakui kami belum punya pengalaman untuk membuatnya. Namun sejak Achamd Rofiq dan kawan-kawan memberikan pelajaran tentang prinsip-prinsip apa saja yang berlaku di animasi, kami jadi lumayan paham kalau banyak hal-hal yang boleh dilakukan di animasi. Intinya, animasi memberikan banyak ruang yang berlebih bagi penulis seperti kami, untuk berfikir tentang fantasi, berbicara mengenai hewan-hewan, mahkluk-makhluk unik, dan hal-hal yang bisa terbang dan sebagainya.
Dari tim Ahmad Rofiq (tim animator/produksi), yang selama ini berproduksi tanpa penulis, merasa bahwa dengan kehadiran penulis, paling tidak cerita akan menuju ke sasaran yang diinginkan. Memiliki tingkat dramati, terstruktur, dan yang lebih penting tujuan dari cerita tidak bertele-tele.

Oleh : Joni faisal (penulis serial animasi Songgo Rubuh)

No comments:

Post a Comment